Sabtu, 27 Agustus 2016

LITERASI DIMATA PEMUDA BULUKUMBA

Menyoal kegiatan obrolan syawal yang diselengarakan Himpunan Mahasiswa Islam di warkop expresso pada malam ini, 9 juli 2016 dengan tema "Literasi di mata pemuda Bulukumba" yang dihadiri oleh pejuang literasi Bulukumba, organisasi kepemudaan, dan para pecinta dunia literasi yang dinarasumberi kakanda ahmad sahide, kakanda tomy satria, kakanda arum spink.

Sangat menarik obrolan malam ini, dengan santai para narasumber mengguncang kegelisahan para pendengar dengan menghadirkan fenomena-fenomena kekinian yang sangat turun drastis dari masa ke masa. Kurangnya budaya literasi dimata pemuda Bulukumba sangat mencengankan, karena seperti kata pramodia anantatoer "menulis adalah cara mengabadikan diri", maka siapa yang akan mengabadikan Bulukumba dari segala aspek jika tak satupun yang tergerak hatinya untuk menulis?

Kita ketahui bersama, bahwa literasi adalah menyoal tentang membaca dan menulis. Rumus sederhana adalah apa yang hendak dibaca jika tak satupun menulis? Kepada siapa kita mengetahui kebenaran sejarah masa depan jika tak satupun menulis hari ini? Dan apakah orang masih akan membincang kita setelah meninggal jika tak satupun buah pemikiran dituangkan dari menulis? Sehebat apapun teori yang dikeluarkan malam ini oleh para pembicara dan pendengar tentang konsep literasi jika tak satupun dari mereka yang menuangkan gagasannya dari menulis. Apakah budaya literasi sangat berpengaruh dalam peradaban? Ya. Sudah tentu dan pasti.

Maka pada malam ini pula saya menyampaikan sedikit solusi untuk bagaimna menumbuhkan budaya literasi. Bukan untuk menggurui para senior yang hadir, namun hanya mengajak dan menyadarkan mereka bagimana cara menanamkan ini pada semua orang, terutama untuk pribadi.

Apa yang saya ucapkan pun bukan teori luar biasa seperti yang lainnya yang juga berbicara malam ini, bukan tentang konsep teologis pada literasi, bukan tentang sistem ekonomi sebagai analogi gambaran literasi, bukan pula gambaran kota jogja yang dihebat-hebatkan oleh seorang pembicara yang katanya sangat pesat dibidang literasi.

Saya hanya menyampaikan hal sederhana, bahwa untuk membangun budaya literasi, menurut hemat saya, beberapa langkah bisa dilakukan oleh kita semua. Pertama, menumbuhkan minat baca sedini mungkin. Minat membaca diimulai dari keluarga. Orang tua wajib mendorong putra-putrinya untuk membaca banyak buku. Tak cukup itu, mereka seyogyanya memberi contoh. Mereka kudu  terlebih dahulu membiasakan membaca. Mereka dapat menciptakan lingkungan yang mendukung menumbuhkan minat baca seperti ruang baca dengan buku bacaan. Sebab itu, membeli buku dijadikan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dalam setiap bulannya. Menyisihkan uang bulanan untuk tujuan di atas menjadi pilihan orang tua bijak dalam  membangun budaya literasi.

Kemudian, sekolah memiliki peran penting. Di sekolah, anak-anak wajib dibiasakan membaca. Guru memberi teladan. Mereka menanmkan kepada peserta didik kecintaan terhadap buku. Perpustakaan sekolah (diupayakan ada) sepantasnya dikelola dengan baik. Sehingga perpustakaan sekolah menjadi menarik untuk dikunjungi.

Di sekolah, budaya tulis menulis dimulai. Peserta didik diajari menulis. Dalam setiap pembelajaran, guru dapat menyisipkan kegiatan menulis atau mengarang. Osis dilatih mengelola majalah dingding. Lebih jauh, pelajar SLTP atau SLTA dapat dipacuh untuk menerbitkan buletin, jurnal  atau lain.

Kedua, subsidi buku. Di beberapa negara maju, pemebelian buku memperoleh subsidi dari pemerintah. Seabagai nagara berkembang yang mengejar ketertinggalan di berbagai sektor, tak salah bila Pemerintah Indonesia mengusahakan hal tersebut. Subsidi akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca buku. Ini terlihat mustahil. Tapi selagi ada usaha dari semua pihak, saya  yakin tidak ada yang mustahil.

Ketiga mengoptimalkan peran perpustakaan daerah. Keberadaan perpustakaan daerah selama ini belum menunjukkan perannya dalam masyarakat. Keberadaanya antara ada dan tiada. Ini terkait dengan pengelolaan dan pelayanan belum maksimal. Koleksi buku perlu ditambah. Perpustakaan daerah diupayakan membuat terobosan dengan kegiatan menarik seperti lomba menulis, lomba baca puisi, atau lainnya. Saya juga melihat sosialisasi masih kurang. Ke depan perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif  minat baca masyaraat. Ini  sebuah tantangan berat sekaligus tanggung jawab  dalam upaya menamkan budaya membaca dan menulis.

Keempat, menghargai karya tulis. Bangsa ini musti belajar mennghargai karya orang lain. Dan karya tulis sepatutnya memperoleh tempat khusus, melebihi karya lain. Pemerintah dituntut memilki perhatian khusus pada para penulis. Pemerintah harus mendorong kegiatan penulisan juga penelitian.

Akhir kata, budaya literasi bangsa kita harus bangkit. Kita tak boleh terpuruk. Bangun budaya membaca dan menulis dari keluarga. Kemudian sekolah seyogyanya mengambil peran penting menyiapakan generasi gemar baca dan menulis. Tak tertinggal, pemerintah harus sudah mulai berhitung, kapan bisa mensubsidi  buku untuk rakyat. Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar