Rabu, 30 April 2014

Buku SEKOLAH SASTRA BULUKUMBA


Room rainbow, 29 april 2014
*Atas nama senyum manis ditungku cintaku

“BALADA CINTA KSATRIA SEBELUM CAHAYA”

Ketika awan diufuk barat mulai menguning.
aku terdiam terpaku menatap semburatan cahayanya.
Terpaku diam tak bergerak, Lidahku kelu dan hatiku beku.
Otakku enggan untuk berpaling menghadap arah yang berlawanan.
Kulihat gantungan rindu diujung ranselku yang seakan mengikat seluruh kuatku, rindu.
Engkau hadir memberikan seluruh denyutnya nadimu.
Tanpa menyelami akalmu, bahwa cintaku tak sekuat yang engkau tahu.
Kau banyak menanam harapan pada hati gersang yang seolah sulit menanamkan akarnya pada setetes embun.
Aku takut, jika harapmu adalah boomerang yang selalu siap menghantam kesetiaanmu.
Aku takut, mimpi besarmu takkan pernah sanggup kau pikul yang akhirnya menggelindingmu pada danau air mata luka, cintaku.
kesetiaan bagiku hanyalah serpihan penghianatan yang meneguhkan jiwamu.
Semoga engkau tersadarkan, akan badai cinta yang kau tumpuk dipelipis kehidupanku.
Kau berjalan dengan duri ditengah senyum.
Harusnya dari awal kau kenali ini, bahwa lembah hati yang engkau pijakkan sebenarnya racun yang berwujud madu.
Aku pernah bertanya, mengapa kau memberikan separuh kebahagiaan pada masa depan kita?
Masih dengan senyum itu, karena aku bingung dengan keadaanku yang seolah terperangkap pada buaian sajak-sajakmu.
Tahukah engkau wahai kekasih, cinta dan kekosongan adalah hal yang serupa buatku.
Besarnya cinta adalah kekosongan hati yang terungkai bersama sampul kebahagiaan sebagai bumbunya.
Namun ketahuilah, jika esok kau menemukan dari bait kehidupan dan menggores dalam benakmu. Maka engkau telah tuntas dalam keteguhan hati dan pendewasaan.
Karena setiap kisah yang berwarna pastilah kumpulan gelap luka dan cerahnya bahagia.

Cinta sebenarnya adalah kumpulan populasi ribuan ikatan yang ia senangi.
Ibarat gurita dengan tentaklenya,
Satu tangan yang menempel pada hatimu adalah ikatan aku mencintaimu.
Namun percayalah bahwa masih ada tangan lain yang merajut kisah sempurna dibawah bulan pada malam abadi.
Ia bergerak pun atas nama cinta.
Adalah kisah hitam pada gelap yang menjulur ribuan kilo dimasa lalu.
menempel pada gadis lugu yang menyimpan jutaan bintang dalam hatinya.
galaksinya luluh lantak tatkala wajah purnamanya tertutup gerhana kepanjangan.
Setelah itu hatinya perlahan redup sebelum berpindah pada surya baru.
Kini hatinya telah membentuk tatanan dunia baru.
namun jauh di bawah alam bawa sadarnya tentakleku masih mengikat erat dalam ingatan kisah-kisahnya yang tak berwujud.
Kisah lain pun bersekat dan berjelaga.
pada cakar merpati putih yang kehilangan arah.
menjulang tinggi bersama catatan cita buram akan kontras kehancuran.
Ia merpatiku mencari biji emas yang menyilaukan matanya
tanpa sadar ia menari diatas sembilu yang membelah sayapnya.
Kembali merintih dengan luka, mengurung kisah pada sang ksatria.
Kini paras eloknya melayang dengan segenap luka.
Memeluk rindu atas sunyi yang pelahan menjauh riangnya hidup.
Setiap ukiran hatimu adalah keindahan nyata dari kelihainmu.
Adalah hal yang kacau untuk menyelinap diantar kisah yang menjepit kita.

Setiap tetes sungai matamu adalah lantunan kesucian cintamu.

Aku merindukan sebuah kisah pada masa setelah detik ini.

Meskipun dengan sayap-sayapmu yang patah.

Perjalanan ksatria belum usai, setiap baitnya terukir pada masa setelah senja
Pada malam cinta,
senyap malam menyelimuti perjuangan peradaban.
Mengikat disetiap embun yang membasahi rerumputan.
Kutuai kata disamping bulan, agar sinarnya kelak hinggap di matahari.
Untuk mengabarkan kepada dunia, bahwa malam itu adalah malam abadi.
Dengan angan dan cinta menggantung disetiap rantingnya.


Kamar kotak 27 april 2014

“TENTANG CINTA DIUJUNG RASA”

Apa  yang telah kita ukir dalam kenangan
terkadang melambai jauh meninggalkan
 waktu sambil mengendarai kisah
Ia bergerak menghembus jauh
yang berbekas luka dalam bingkai senyum
yang seolah mengejek diriku
dengan seutas luka jeratan dalam kalbu
Disudut ruang, aku mulai melihat sebuah
titik yang membiaskan senyuman
Seolah menghempas mundur setiap detik saat kumilki
satu tangan hati yang mengikat cintaku
Engkau hadir dari rapuhnya cintaku
oleh pukulan luka lama yang tak pernah kering
Perlahan hatimu menjaring
diatas perih yang membungkus dermis yang tertikam
Kini aku hidup dengan denyut nadimu
bahasa bibirmu bagaikan degub jantungku
yang terlempar disetiap kata
Saat separuh hidupku adalah dirimu
dimana tawamu menggaris disudut bibirku
juga hariku dipenuhi keindahan namamu
Engkau menghempasku jauh
Meluluhlantahkan rumah cinta yang kubangun dari air mata
Kau melemparku keluar dari daya ingatmu
Mencekik hatiku lalu merampas keluar melalu ubun-ubun
Aku tak berdaya saat melihat ragaku
melompang kaku ditengah kesunyian
kini hidupku adalah kematian dalam cinta
Aku menulis dari tinta air mata
tentang cinta diujung rasa




“SAJAK KERINDUAN”
Hingar bingar bisikan
melempar kata dengan harap fana
melawan silau api
yang selalu membakar suasana
Ditengah sela kursi
ada seorang pemuda yang penuh harap
mencari serpihan hati yang menggores cinta
menari selatan utara
menebar pandangan kepada kepala bergoyang
menyiar radar luka yang redup
Awan menghitam
menutupi cahaya bulan
hingga kuredup asa hilang dari cahayanya yang kurindu
hilang ditengah lautan jiwa
Ribuan senyum menghantam jiwaku
saat ku menerka sisa rupamu yang kuingat
penuh bahagia, namun bukan mereka yang kuingat







“GELAPKAN CAHAYAKU”
Dimalam gigil sunyi senyap
Aku duduk disamping sebuah bulan
Menatap barisan semut bercakap
Menerka dialog mereka akan situasi
Dan membahasakan sebuah arti cinta
Mereka beradu dengan syarat
untuk melempar ceramah sunyi
Berdialog dengan malam
Tentang sepotong hati yang kutinggal pergi
Malam ini
Kurungkai niat bodoh langkahku
Meninggalkan hati untuk dicaci
Sementara ragaku membusuk terbungkus tulang
Ditinggal cinta untuk membunuh rindu
Esok jika ku kembali
Akan kukabarkan rinduku pada bintang
Dan kuterobos jarak yang kau bending
Untuk menanyakan kembali cintaku
Yang kutinggal sekarat
Kusujud dalam dekapmu
Dengan seribu luka hitam sesalku
Untuk menagih sepercik janji
Yang kau kabarkan pada bintang
Hingga bulan gelapkan cahayaku



“TERBANGLAH SAYANG”
Merpatiku,
Akan ada tanya setelah masa berlalu
Tanya ketersesatan dalam ruang pikirku
Masihkah kau
Sesetia May Ziadah
Seteguh Aufa Riany
Sesabar Zahrana
Seceria lyliana
Sepandai Layla, dan
Seanggun Juliette?
Jika tidak,
maka aku bukanlah pelupuk indah dalam kisah
Aku hanya berjelaga dalam sanubari
Terbanglah merpatiku
Karena ku tak mampu membendung
Embun dalam indramu
Kau salah tanggap
Aku anounymous dalam senyum mimpimu
Kepakkan sayapmu
Jika kau lelah
Berteduhlah pada hati yang menarik
Memayungi dari hujan
Akan luka
Putih, bergegaslah
Sekarang kau bebas



 Bundaran Phinisi Bulukumba 26-10-2013
“PHINISI DALAM PUSARAN”
Aku bangga akan kotaku
disini ku dibesarkan oleh bendaran politik burik
Dididik dari sisa pelaut ukung
hungga kutuang arah panah pulauku kedalam otak
saat kubelajar mengeja aksara
Aku tumbuh seiring jauh mata memandang
Di bumi panrita lopi
Berlayar mengarungi pergeseran periode
dijemari bapak eksekutif pengumbar janji
Pijakan kakiku mengantarkan pada sejarahmu
sebatang sejarah yang tak terusik lagi
entah mengapa ibuku berhenti mendongeng tentangmu lagi
Janinmu melahirkan bocah berbusana tak lengkap
kecantikan kukumu tak terawat lagi
langkahmu kini tak jelas
mungkin kau terinspirasi oleh kura-kura ninja
Wahai phinisi
kau tak lagi berlayar, tetapi berjual






“HAK RAKYAT”
Pilihanku adalah wujud
Konsisten jiwa dan nuraniku
Karena doktrinmu tak
Sedikitpun mengoyahkan hatiku
Meski akal mengangguk tunduk patuh
Kewajiban kalian hanya berujung pada
Proses sistemis kedudukanmu
Karena kalian sendiri yang
Mementaskan kebijaksanaan untuk menggapai
dukungan masyarakat
Adalah dengan cara kotor kalian
Tapi, dukungan?
Tak bisa kamu patahkan.
Kewajiban kalian hanya membentuk
aturan yang berasal dari hati kami
Karena kami tahu apa makanan kami
Bukan alur yang ulur kehadapan
kami untuk menidurkan mereka disana
Kami butuh, tapi tidak dengan kalian
Kamu wajib melebarkan telinga
Karena kuncimu ada pada kami
Pun materimu, mahkota yang selalu kau kibaskan
Titik simpulmu ada dikami
kunci kursimu pun ada pada kami
Maka engkau wajib tunduk pada kami
Karena kami adalah Rakyat

“POLITISI DIMATA RAKYAT”
Politisi…
Pemilik bingkai diujung jalan
Pemilik puisi melintang dijalan
Pemilik masa diruang tamu
Sepatunya melangkang kedesa
Melambai tangan dengan senyum
Berwujud rapi dengan setelan impor
Ditengah baju kusut
Bercerah…
mengumumkan keadaan yang baik saja
Dan optimis menang
Berujung janji-janji manis
Semua politisi mencintai rakyat
ikhlas berbagi dimasa kampanye
menyumbang logistic kepada fakir
Untuk membangun desa
Begitu  katanya
Politisi suka silaturahmi
Suka khalayak ramai
Dan Baliho
Banner
Kartu edaran
Dan kalender
Dan songkok
Baju
Mukenah
Sembako
Dan uang
Semua untuk rakyat
Dikerumunan sayup terdengar teriakan
“Rakyat mesti bersatu demi pembangunan dan kesejahteraan, dan sayalah yag akan mengaturnya di dewan”
sebelum ia menghilang selamanya
Politisi hanya tahu kedudukan dengan uang, sedang rakyat?
hanya tahu uang untuk dukungan
Maka demokrasi tak lebih
Dari pasar Cekkkeng
Memang tanpa mereka
Takkan ada penyambung lidah rakyat
Jadi terpaksa mereka jadi diktor
Karena ulah rakyat sendiri
Lalu, kubacakan puisiku didepan orang tuaku
Dan ia pun berkata:
Tulislah sajak tentang pemandangan gunung
dan laut yang sering kau datangi dengan temanmu


Pelataran RCA 05-11-2013
“MERPATIKU”
Oh… Merpatiku
Tiupan angin membawa senyummu
Masuk menusuk kehamparan hatiku
Gemuruh ombak membiaskan amarah kita
Sejenak kuterdiam
Menatap bebatuan yang terkubur pasir
Dan menenggelamkan semua tragedi cinta
Bibir air di pantai tak henti menggaris
Setiap kisah pasti ada pasang surut
Senja pun turun
tenggelam diantara awan tipis
Sinarku pun turut bersamanya
Cahaya pun perlahan redup
Sesekali silau
Menandakan kau riang setelah tangismu
Maafkan aku cinta
Sedihmu kubuat pena
Yang tintanya dari embun diujung matamu
Merpatiku...
Kesetiaanku teriring setiamu





“MY MISSING RAINBOW”
Kurindu pelangiku
Yang hilang seiring tumbuh cahaya lain
Ujarnya yang tulus
Tanpa sengaja kubias cahaya hati lain
Hingga matanya menghujani sesasku
Kepada pelangi
Ijinkan aku menerobos rindu
Yang kau bendung
Maaf jika mengusikkan
Hanya saja keliaran hatiku menderu
Pada sepotong senyum yang kau
hamparkan pada hatiku yang
seketika sunyi kala itu
Warnamu menjelma kasih
Namun kau terbang di timur panas
Akan ikatan yang kuleleh itu
Dan lurus ucapmu senja itu
Akan kembali bercahaya dalam dadaku
Dan jika itu indah,
Maka aku maknai
Cinta kembali





“RAPUH”
Diujung kata malam itu
akan ada pisau yang menyayat
Yang kau hantarkan ke hati kita
Tikaman lembut tanda perpisahan
Akhir kataku menutup jalinan kita
Saat William Forester meninggalkan cintanya
Hatiku bagai pasir di mandala ria
Suci dan putih namun terabaikan
Cintaku bagai batu taha
Kuat dan kokoh namun teriris air cintamu
Aku hanya bias air ditengah jalan
Nampak nyata
Namun palsu
Salahkan aku
Setelah kau Tanya hatiku










“UJUNG LOE”
Nyiur melambai diemperan empang
Memanggil bangau dibawah awan
Saat angin bertiup sepoi
Yang seketika hilang saat senja berlari
Embun pagi menetes disela padi
Membahasahi jejak kaki kuda
Menulis sajak kesejahteraan
Dalam hidup bermasyarakat
Saat aku berjalan dipematang sawah
Memberi kesaksian dialam asri
Menuai padi yang menguning
Belajar pada cangkul dan arit
Mencatat sejarah hidup
Menjadi anak petani ulung
Langkah awal dari hasil gabah
Gairah hidup bergejolak
Memberi pena dari hasil sawah
Untuk menulis sejarah setinggi langit








“SARJANA PASAR”
Kadang hidup adalah sebuah kesalahan besar
berdiri diantara puing kehancuran
Sembari menikmati hari
dengan sisa yang ada
Terpelajar dari pedagang Formalitas
Bercermin pada kaca buram
Yang ia sendiri tak punya bentukan tangan
Disanalah gembala
Penggores budaya
Tersenyum dengan luka tikam punggung
Darah lari berputar dalam pagar
Tertawalah,
Tempatmu dipasar
Bagimu,
Kesalahan hanyalah bayangan kebenaran
Belajar cerdas, bukan kaya









“CATATAN CINTA SANG KSC”
Tiap detik ada saja merpati putih
Hinggap dipundak sang kesatria
Menagih senyum untuk ngantri cinta
Beberapa rayuan kucing
Tanpa sungkan menengadah saying penyair
Yang mengigit pena
Sang kesatria berujar
Kuberikan secuil senyum lalu terbanglah
Hinggap pada hati yang memanggilmu
Kau takkan faham cintaku
Sehari berbunga, esok telah bangkai
Hari ini kuajak kau ke bulan
Esok sosokmu akan terhempas ke bumi
Harap palsu untuk kukatakan cinta
Kecuali penaku habis
Namun itu tak semasa
Pulanglah kehatimu yang dulu juga hidupmu
Jangan hinggap dipundakku lagi







“SEPOTONG SENYUM KASUSO”
Hamparan cahaya menusuk kalbu
Jaring menebar pengais rejeki
Tatkala senja termakan air
Di desa kumuh tak terlirik
Engkau menyimpan sekotak misteri
Dan segudang kisah
Yang dikabarkan moyang
Dalam sebuah kotak Pandora
Semburat sinar memancar disela batu taha
Hijau segar dalam batu menggunung
Dibawah tumpukan tulang belulang
Membisu dengan sejarahnya
Kukabarkan pada matahari
Yang membawa sinar pada baju berdasi
Bahwa ada sepotong senyum di kasuso
Bagai mutiara dalam kerang










”SENIMAN LACI”
Coretmu bolak balik tak bertambah
Karya nurani dibalik kotak
Menggaris nyata
Dalam sebuah kertas tua
Garismu berkelok tergambar wajah
Wajah sesal nan miris penuh harap
Saat panahmu patah, dan sekarang
di kota ini kau tak punya kanvas
Memoles kuas kelam
Menarik garis dendam dibingkai kayu
Mengukir sketsa wajah yang pernah usai
Berharap cahaya menyelesaikannya
Paling tidak,
Memegang tanganmu menuntun coretan
Pada sebuah lukisan kusam kehidupan
Yang sepertinya itu kau











“POLITIK PRAKTIS”
Detik ini kurungkai pandangan logis
Mengurai kebejatan pesta demokrasi
Ditengah selangkangan penjilat partai
Yang bermandikan materi
Prospek keagamaan yang berlandaskan kemunafikan
Bergotong berantai menarik materi dalam lembah
Uang
Senyum
Uang
Jadi
Uang
Sayang
Uang
Uang
Pilih
Politik
Pesta neraka
Penuh dosa