Senin, 14 Maret 2016

Berharap untuk Tak Berharap

It’s very different with my postings before. I won’t talk about politic, social or other. My feels. I talk about. Sesak, penuh, penat, bosan dan entah ungkapan apa lagi yang bisa saya katakan. Mungkin di antara mereka yang membaca tulisan ini akan berkata saya cengeng, cemen atau lebih ekstrim banci. But it’s the role! I didn’t know, where I should be throw this freak stories. 

Manusia normal memiliki sejuta harapan dalam hidupnya. Entah itu materi, kebahagiaan, cita -cita bahkan cinta sekalipun. Yang terakhir adalah satu kata yang masih sulit didefinisikan secara sederhana. Cinta itu kata benda kah? Kata sifat atau mungkin di tahun yang dewasa ini sudah ada jenis kata baru dalam struktur sastra. Entahlah.

Saya pun lebih suka menyebutnya ‘rasa’. Karena benar cinta itu hati yang mengetahuinya. Tetapi jika berusaha mengkonversikan itu ke dalam ucapan terkadang dianggap terlalu berlebihan bahkan hanya omong kosong belaka.

Ini perjalanan saya. Lebih dari satu tahun, lebih dari beribu detik saya mempertahankan rasa saya. Saya tak bisa ‘berpindah’. Sepersekian detik muncul di otak saya kata karma. Keras, takhayul atau apalah namanya. Bagi saya, apa yang saya tanam, itu yang saya unduh. Berusaha memahami jalan Tuhan. Respon cepat antara pikiran dan tangan membawa saya meraba sebuah ponsel kecil. Ya, sebatas mengatakan maaf untuk tempat yang pernah saya tanami dulu. Saya tahu arti kesalahan dan kedewasaan. Seketika saya tahu kemana harus berjalan. Cukup sadar diri ketika saya cerita, sang pendengar pun disana sudah ‘ditanami’ benih rasa oleh orang lain.

Mencoba untuk mencari seakan ingin merubah takdir Tuhan. Saya pun tidak tahu, apakah itu melanggar kode etik sebagai makhluk Tuhan atau tidak! Mencoba berpindah, memindai tempat yang tepat untuk ditanami. Namun berulangkali, mati dan layu. Tanahnya terlalu keras, hanya cocok ditanami oleh petani yang pernah menanaminya bahkan tanah itu terlalu mewah untuk tanaman yang sederhana milik saya ini. Tentang kegalauan, saya ceritakan kepada salah seorang yang saya percaya. Tentang kebahagiaan, tentang kekaguman dan juga tentang keragu -raguan saya.
Kopi, malam hari, berbungkus rokok, sepaket gadget lengkap dengan earphone dan siulan melodi menemani saya sepanjang hari. Kegundahan membuyarkan kewajiban saya. Merenung dan memahami. Menggali terus lebih dalam. Siapa dia! Siapa dia!

Butuh waktu panjang, bukan karena intensitas saya bercerita saja membuat rasa itu muncul. Memahami kenapa harus dia. Sederhana. Kedewasaan, intelektualitas yang tinggi, dan kesederhanaan dia. Keindahan fisik yang lebih itu karena tiga aspek tersebut. Bukan karena branded yang menempel di tubuhnya. Bukan karena mahalnya kosmetik. Bukan karena harumnya parfum. Tidak sempat untuk melihat dan mencium kelebihan buatan itu. Jarak yang relatif jauh. Obrolan ringan, pesan pendek dan beberapa cerita tentang dia. Kepekaan yang dapat menangkap hal tersirat itu.

Suatu ketika Tuhan mengijinkan saya menilik ke daerah ia berada.kebahagiaan sederhana yang saya dapat. Hanya dua bekal yang saya bawa, rasa dan harapan saya. Rasa yang terus berteriak. Harapan yang terus mengkompresi. Mengapa? Bagi beberapa manusia pernah berkata pasangannya sebagai penyemangat hidup. Terlalu kompleks bagi saya mendapatkan pasangan sebagai penyemangat hidup. Untuk pribadi ini,memang membutuhkan penyemangat. Sangat butuh. Namun penyemangat saya bisa berkutat dengan tumpukan buku, lembaran laporan praktikum atau beberapa slide presentasi.

Mengatakan ini bukan karena tanpa dasar. Yang lalu, persaingan sehat ini benar memacu. Namun sekarang tak hanya itu saja. Dia sudah berubah banyak. Kedewasaannya benar mengangkat derajat keistimewaan dalam diri saya. Seketika pula umur ini hanya menyisakan beberapa hari saja. Saya pun semakin mantap. Rasa ini untuk sisa umur di dunia saya.

Harapan tinggal harapan. Kini bagi dia, harapannya adalah tidak berharap untuk dia. Entah, memang masih abu -abu. Kedatangan tiba -tiba tidak dapat merubah seketika dalam satu kedipan mata. Mungkin juga banyak harapan yang masuk dalam kotaknya. Dan banyak kemungkinan. Termasuk kemungkinan apa yang terjadi antara saya dan dia terulang untuk kesekian kalinya.
Gelagat itu kini jelas terpampang. Nyata tergambar. Risih dan merasa terganggu. Sepertinya pun ingin mematikan harapan itu.

Sudah kebal rasanya saya dengan hal seperti itu. Ketika berharap dan harapan itu berusaha ‘dibunuh’. Kini saya juga semakin paham bahwa berharap bukan merupakan proses. Hanya pre-beginning dari sebuah proses. Seorang Tan Malaka saja bisa memperkenalkan Republik. Untuk hal kecil seperti ini, saya pun ingin seperti Tan Malaka. Tak dapat disejajarkan memang.
Membahas tentang bangsa, politik, sosial atau ekonomi beserta aspek dan juga dampaknya memang penting. Namun terkadang membicarakan tentang hati, rasa dan cinta merupakan kebutuhan manusia biasa.

Nb: if you read this freak notes. I hopes, you’ll get the serious reason, why I’m hoping part of you. Not for today. For next long time of my lifes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar