Manusia normal memiliki sejuta harapan
dalam hidupnya. Entah itu materi, kebahagiaan, cita -cita bahkan cinta
sekalipun. Yang terakhir adalah satu kata yang masih sulit didefinisikan
secara sederhana. Cinta itu kata benda kah? Kata sifat atau mungkin di
tahun yang dewasa ini sudah ada jenis kata baru dalam struktur sastra.
Entahlah.
Saya pun lebih suka menyebutnya ‘rasa’.
Karena benar cinta itu hati yang mengetahuinya. Tetapi jika berusaha
mengkonversikan itu ke dalam ucapan terkadang dianggap terlalu
berlebihan bahkan hanya omong kosong belaka.
Ini perjalanan saya. Lebih dari satu
tahun, lebih dari beribu detik saya mempertahankan rasa saya. Saya tak
bisa ‘berpindah’. Sepersekian detik muncul di otak saya kata karma.
Keras, takhayul atau apalah namanya. Bagi saya, apa yang saya tanam, itu
yang saya unduh. Berusaha memahami jalan Tuhan. Respon cepat antara
pikiran dan tangan membawa saya meraba sebuah ponsel kecil. Ya, sebatas
mengatakan maaf untuk tempat yang pernah saya tanami dulu. Saya tahu
arti kesalahan dan kedewasaan. Seketika saya tahu kemana harus berjalan.
Cukup sadar diri ketika saya cerita, sang pendengar pun disana sudah
‘ditanami’ benih rasa oleh orang lain.
Mencoba untuk mencari seakan ingin
merubah takdir Tuhan. Saya pun tidak tahu, apakah itu melanggar kode
etik sebagai makhluk Tuhan atau tidak! Mencoba berpindah, memindai
tempat yang tepat untuk ditanami. Namun berulangkali, mati dan layu.
Tanahnya terlalu keras, hanya cocok ditanami oleh petani yang pernah
menanaminya bahkan tanah itu terlalu mewah untuk tanaman yang sederhana
milik saya ini. Tentang kegalauan, saya ceritakan kepada salah seorang
yang saya percaya. Tentang kebahagiaan, tentang kekaguman dan juga
tentang keragu -raguan saya.
Kopi, malam hari, berbungkus rokok, sepaket gadget lengkap dengan earphone
dan siulan melodi menemani saya sepanjang hari. Kegundahan membuyarkan
kewajiban saya. Merenung dan memahami. Menggali terus lebih dalam. Siapa
dia! Siapa dia!
Butuh waktu panjang, bukan karena
intensitas saya bercerita saja membuat rasa itu muncul. Memahami kenapa
harus dia. Sederhana. Kedewasaan, intelektualitas yang tinggi, dan
kesederhanaan dia. Keindahan fisik yang lebih itu karena tiga aspek
tersebut. Bukan karena branded yang menempel di tubuhnya. Bukan
karena mahalnya kosmetik. Bukan karena harumnya parfum. Tidak sempat
untuk melihat dan mencium kelebihan buatan itu. Jarak yang relatif jauh.
Obrolan ringan, pesan pendek dan beberapa cerita tentang dia. Kepekaan
yang dapat menangkap hal tersirat itu.
Suatu ketika Tuhan mengijinkan saya
menilik ke daerah ia berada.kebahagiaan sederhana yang saya dapat. Hanya
dua bekal yang saya bawa, rasa dan harapan saya. Rasa yang terus
berteriak. Harapan yang terus mengkompresi. Mengapa? Bagi beberapa
manusia pernah berkata pasangannya sebagai penyemangat hidup. Terlalu
kompleks bagi saya mendapatkan pasangan sebagai penyemangat hidup. Untuk
pribadi ini,memang membutuhkan penyemangat. Sangat butuh. Namun
penyemangat saya bisa berkutat dengan tumpukan buku, lembaran laporan
praktikum atau beberapa slide presentasi.
Mengatakan ini bukan karena tanpa dasar.
Yang lalu, persaingan sehat ini benar memacu. Namun sekarang tak hanya
itu saja. Dia sudah berubah banyak. Kedewasaannya benar mengangkat
derajat keistimewaan dalam diri saya. Seketika pula umur ini hanya
menyisakan beberapa hari saja. Saya pun semakin mantap. Rasa ini untuk
sisa umur di dunia saya.
Harapan tinggal harapan. Kini bagi dia,
harapannya adalah tidak berharap untuk dia. Entah, memang masih abu
-abu. Kedatangan tiba -tiba tidak dapat merubah seketika dalam satu
kedipan mata. Mungkin juga banyak harapan yang masuk dalam kotaknya. Dan
banyak kemungkinan. Termasuk kemungkinan apa yang terjadi antara saya
dan dia terulang untuk kesekian kalinya.
Gelagat itu kini jelas terpampang. Nyata tergambar. Risih dan merasa terganggu. Sepertinya pun ingin mematikan harapan itu.
Sudah kebal rasanya saya dengan hal
seperti itu. Ketika berharap dan harapan itu berusaha ‘dibunuh’. Kini
saya juga semakin paham bahwa berharap bukan merupakan proses. Hanya pre-beginning
dari sebuah proses. Seorang Tan Malaka saja bisa memperkenalkan
Republik. Untuk hal kecil seperti ini, saya pun ingin seperti Tan
Malaka. Tak dapat disejajarkan memang.
Membahas tentang bangsa, politik, sosial
atau ekonomi beserta aspek dan juga dampaknya memang penting. Namun
terkadang membicarakan tentang hati, rasa dan cinta merupakan kebutuhan
manusia biasa.
Nb: if you read this freak notes. I
hopes, you’ll get the serious reason, why I’m hoping part of you. Not
for today. For next long time of my lifes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar