Rabu, 30 September 2015

Surat kaleng

Kepada yang penuh cinta,
Sdri Ridha Amaliah.

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu, ijinkan kekunoan ini menjadi mutiara ditengah lumpur dalam pelupuk matamu.

Semoga hatimu yang baik dan indah berada dalam ketentraman. Hari ini aku menerima semua postinganmu di sosial media, dan kubaca artikel-artikelmu satu demi satu dengan senang sekali beserta kekaguman.

Dalam artikel-artikelmu kutemukan pengantar mengenai segala kecenderungan dan kecondongan yang telah begitu lama menarik-narik hatiku dan menggayuti mimpiku; tapi ada juga teori dan asas lain yang kuharapkan dapat kita perbincangkan dalam temu muka. Seandainya aku sekarang ada di Kotamu, aku hendak meminta izin untuk mengunjungimu dan memperbincangkan secara rinci (pokok-pokok masalah) seperti “roh-roh berbagai tempat”, “akal dan rasa” dan beberapa aspek filsafat Henri Bergson. Tetapi Kotamu berada jauh di Tenggara dan aku terletak jauh di ujung Selatan, padahal tidak ada jalan yang dapat digunakan untuk mengadakan perbincangan seperti harapan dan keinginanku.

Artikel-artikelmu yang jelas menunjukkan betapa tinggi bakatmu, mampu memahami bacaan secara tuntas, dan memiliki selera halus dalam menyaingi dan memilih bahan dengan segala hubungannya. Artikelmu pun secara jernih memantulkan pengalaman diri pribadi., sehingga membuat riset-risetmu menjadi yang terbaik di antara sesama jenisnya dalam media. Aku menganggap pengalaman dan keyakinan pribadi lebih utama dari pada segala jenis pengetahuan demi pekerjaan.

Tapi padaku ada pertanyaan, dan kuharap engkau memperbolehkan aku mengajukannya padamu. Persoalannya begini: Tak mungkinkah saatnya tiba bagi bakat besarmu untuk diabadikan selanjutnya guna mengungkapkan rahasia inti pribadimu, pengalaman-pengalaman khusus dan kegaiban-kegaiban agung pribadimu itu? Bukankah keindahan kreativitas lebih abadi dari pada kajian terhadap orang-orang yang kreatif? Apakah engkau tidak yakin bahwa karya cipta puisi atau prosa lebih berharga dari pada tesis tentang penyair dan puisi?

Sebagai salah seorang pengagummu, aku lebih ingin membaca sajakmu tentang senyum Sphinx misalnya, dari pada membaca artikelmu mengenai sejarah kesenian dalam media (dubsmash) dan perkembangannya dari hari ke hari Sebab, dengan menulis sajak mengenai senyum Sphinx, engkau memberiku sesuatu yang bersifat pribadi, sedangkan menulis tesis mengenai sejarah kesenian media (dubsmash) engkau mengharapkan aku pada pengetahuan yang umum.

Tapi, apa yang aku ketahui bukannya tidak dapat ditunjukkan dengan kemampuan dalam mengungkapkan pengalaman pribadi yang subyektif bila menulis mengenai sejarah kesenian Medsos. Namun demikian, aku berpendapat bahwa kesenian ekspresi dari pada segala yang mengalir, bergerak dan menjadi saripati jiwa seseorang lebih sesuai dan mengena pada bakatmu yan khas dari pada bidang riset ekspresi dari pada segala yang mengalir, bergerak dan menjadi saripati masyarakat.

Apa yang kukatakan tadi tidaklah lain dari pada sebuah permintaan atas nama kesenian. Kuajukan permintaan itu kepadamu karena aku ingin menarikmu pada lapangan yang mempesona ini, dan di situlah engkau akan bertemu dengan Sappho, Elizabeth Browning, Olive Schreier dan saudari-saudarimu yang telah mendirikan tangga emas dan gading antara bumi dan langit.

Semoga engkau dapat mengetahui kekagumanku, dan sudi apalah kiranya menerimamu penghormatan dari lubuk hatiku. Kudoakan, Tuhan melindungimu.

Ay'

Senin, 14 September 2015

Aku kalah!

Apa orang yang memperlakukanmu dengan begitu baik harus diam-diam menjahatiku?
Kudengar ia orang yang baik,
pekerja keras,
mau mengalah,
rajin beribadah
dan namun diam-diam mengungkapkan perasaannya kepada kekasihku dan itu kau.

Aku kalah.
Aku lengah.
Sesaat setelah aku berkedip,
kau lenyap.

Kau kekasihku telah direnggut,
perasaanmu kini terbelah.
Setengah untuk orang yang begitu baik,
mungkin setengah lagi hanya teruntuk kutanya-tanya.
Aku tidak menyalahkanmu.
Kan kulihat kau bahagia.
Hanya dulu,
aku dapat melihat hati yang penuh pada sepasang bola matamu.
Sekarang aku kaget oleh karena begitu banyak ketakutan di dalamnya.
Aku ingin bertepuk tangan,
namun khawatir kau tersinggung.
Apakah ini pertanda untukku meniti hidup yang baru untuk seseorang yang baru?
Aku tidak yakin,
sebab sampai di hari ini,
rindu selalu lebih kuat dari kekecewaan.

Aku tidak mau memilih pengganti dengan hati yang hanya memberikan rasa kasihan.
Hati yang menjerit tidak harus selalu menyerukan kesepian.
Biarlah aku sendiri asal tidak memiliki yang tidak aku cintai.
Ini lebih baik dari asal-asalan.
Hanya dengar kekasihku,
jangan karena kau cinta aku begitu besar,
cintaku jadi tidak berarti apa-apa!

Kau tahu kalau kau mencintaiku,
namun cintakah yang kau inginkan?
Jika kau bilang kau lebih mencintaiku,
lalu untuk diakah sisanya?

Ah,
isi hatimu dipertanyakan.

Sekarang bayangkan!
Jika hati kekasihku dicuri orang,
akankah hatinya akan kembali dengan utuh?
Karena siapakah aku yang menjawab tanya sendiri.
Mungkin ini pelajaran bahwa ternyata ada juga cinta yang jahat,
cinta yang mencari celah untuk dapat memisahkan dua hati yang menyatu.

Aku dan kamu yang dulu pernah menjadi kita.

Baiklah,
baiklah.
Biar bumi berputar,
waktu berjalan dan aku terpaku saja akan bayang-bayangmu.
Yang baik selalu menang,
yang terbaik hanya dikenang.
Aku kalah.