Sabtu, 27 Agustus 2016

LEBARAN KAMI

Dari si Bungsu pasangan bahagia Tn. Ahmad Mahdani dan Ny. Hasmiati
(Saat keenam dragon ball Mama Bapak, berkumpul)

Dilahirkan sebagai saudara, kira-kira sudah seperempat abad kita menjalin hubungan darah. Kalian mungkin sering cemburu denganku, seorang pria tampan kreasi sempurna bapak ibu yang dilahirkan terakhir, tapi aku tidak keberatan karena cemburumu terdengar sangat wajar. Karena setelah aku dilahirkan, ibu memang tidak lagi penuh memberimu perhatian.

Kini kita sudah sama-sama dewasa. Aku dan kalian tumbuh jadi tiga laki laki dan tiga perempuan dengan sifat dan karakter yang berbeda. Beberapa dari kalian memang jarang bicara, sedangkan aku paling suka mengobrol atau bercerita. Model baju, aliran musik, buku bacaan favorit; selera kita ibarat bumi dan langit. Tapi dibalik segala perbedaan dan perselisihan, bukankah kita tetap saudara? Tidakkah kalian juga seperti aku, yang menyimpan rasa sayang dan cinta tapi enggan mengungkapkannya?

Aku dan kalian punya karakter yang jauh berbeda. Entah berapa kali kita pernah bertengkar dan saling mencela

Dilahirkan dari rahim yang sama bukan berarti “haram” jika kita berbeda. Sejak kecil hingga dewasa, kita justru jarang punya kesukaan yang senada.

“Kalian paling suka bicara, tapi saat kesal dengan adikmu malah diam seribu bahasa. Sikapku memang kadang menyebalkan, tapi diam-mu lebih sering membuatku kebingungan.”

Setelah aku lahir, perhatian ibu lebih banyak tercurah untukku. Wajar jika kalian menyimpan rasa cemburu dan selalu ingin menindasku

Sebagai adik, aku terdidik untuk mencontohmu. Menjadikan kalian sebagai role model sesuai anjuran bapak ibu dan kebanyakan orang di sekitarku. Aku pun diajarkan mematuhi perintah dan nasihat-nasihat darimu. Mereka biasa berkata,

“Nak, contoh kakak kakakmu. Dia itu pintar, rajin, dan bisa mandiri. Kamu harus nurut kalau dinasihati kakakmu.”

Aku akan mengangguk setuju, tapi sejenak ingatanku melayang ke masa lalu. Merasa jadi kakak yang lahir lebih dulu, bukankah ketika itu kalian sering menindasku? Selain menguasai mainan-mainan yang ada di rumah, kalian paling sering menyuruhku pergi ke warung atau sekadar menyelesaikan tugas-tugas di rumah, dan paling ekstreme mengeroyokiku ketika ibu sedang masak.

Adikmu yang masih kecil dan lugu pasti akan menurut layaknya prajurit mendengar titah ratu dan raja. Tapi seiring bertambahnya usia, aku mulai merasa diriku dimanfaatkan. Aku berpikir, apakah sebagai kakak kalian tidak punya rasa kasihan? Kenapa saat ibu menyuruhmu mengerjakan sesuatu, kamu bisa ringan melimpahkan tugasmu padaku?

Saat sedang sendiri, seringkali aku merenungi sikapmu. Apa mungkin rasa cemburu di masa lalu yang jadi alasannya? Mungkinkah kalian belum rela jika mengingat dulu ibu sering mengabaikanmu karena aku? Lupakan, Kak. Ketika itu kita hanya masih terlalu muda untuk mengerti bagaimana seharusnya berlaku sebagai saudara.

Tapi sehebat apapun kita berseteru, toh kalian tetaplah seorang kakak yang jadi andalan ibu saat dia butuh bantuan orang lain untuk menjagaku

Entah seberapa sering kita berdebat, ingatanku masih cukup kuat mengenang betapa dulu kalian menjaga adik kecilmu dengan hebat. Setiap pulang sekolah, kalian akan menemaniku bermain ketika ibu tengah sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Setelahnya, sengaja kalian membacakan cerita agar aku lelap dengan tidak sengaja.

Di lain hari ketika bosan main di dalam rumah, kita akan menuju halaman belakang dan menjajal banyak hal. Kita bisa asyik main tanah, pura-pura membangun rumah dengan segala isinya. Kadang, kita pun berganti peran jadi penjual dan pembeli. Berbekal daun-daun yang seakan jadi bahan makanan, kalian berlaku layaknya penjual di restoran dan aku jadi pembelinya.

Aku juga ingat ketika kita pernah menyelinap keluar rumah saat hari sedang hujan. Tanpa sepengetahuan ibu, di bawah guyuran hujan kita malah asyik main kejar-kejaran. Lucunya, aku dan kalian tidak sadar bahwa baju yang basah akan membuat kita ketahuan dan dimarahi ibu.

“Masa kecilku memang cukup indah untuk dikenang, dan kalianlah yang jadi bagian paling tak terlupakan.”

Di titik terendah dalam hidupku, kalian bisa jadi sahabat tempatku berbagi keluh kesah dan kegalauan yang membuncah

Setelah dewasa, hubungan kita pun menjejak fase yang berbeda. Kita tidak lagi sering main bersama atau kejar-kejaran di halaman belakang rumah. Justru kebersamaan kita terasa sangat minim. Aku cukup sibuk dengan kehidupan baruku, buku-buku, komunitas, organisasi, tugas kuliah, dan waktu-waktu mandiriku. Sedang kalian, sibuk dengan karir, keluarga kecil kalian, dan urusan rumah tangga pada tempat yang berbeda.

Di antara minimnya kebersamaan, ada kalanya kita akan duduk berdua dan serius bicara. Ya, kalian adalah tempatku berbagi keluh kesah. Orang yang aku percaya akan membantuku memecahkan masalah. Saat aku terlalu takut menunjukkan nilai-nilaiku pada bapak dan ibu, ketika beberapa kebutuhanku mendesak dan tak berani meminta uang pada ibu yang membuatku kelimpungan, atau tentang rasa suka pada seorang teman yang kusimpan diam-diam.

“Kalian bisa jadi saudara sekaligus sahabat terbaikku. Padamulah kubagi cerita bahagia hingga rahasia paling hitamku.”

Aku tidak menolak, kalian pun pantas dapat predikat kakak terhebat. Karena saat masalah membuatku ingin menyerah, kalianlah orang pertama yang akan mencecarku. Habis-habisan kalian akan menghujaniku dengan kritikan pedas. Tapi anehnya, aku tidak sekalipun sakit hati karena kata-katamu justru jadi motivasi. Gaya bicaramu yang seakan tidak peduli justru malah membakar semangatku untuk bangkit lagi.

Ada saat dimana kita akan sama-sama melupakan perbedaan dan perselisihan. Kita sepakat jadi rekan yang kompak saat menyelesaikan berbagai masalah keluarga

Sejak kecil hingga remaja, kita memang lebih sering bertengkar. Tapi hubungan kita terus bertransformasi seiring usia yang juga terus bertambah. Menjejak usia dewasa, kita berubah jadi orang yang bisa kompak tanpa perlu diminta jika urusannya soal keluarga.

Aku ingat ketika bapak jatuh sakit, kitalah yang bergantian merawat mereka. Tugas-tugas harian ibu pun bisa kita bagi; perkara siapa yang membersihkan rumah, memasak, cuci baju, pergi belanja, dan siapa yang hanya duduk menonton.

“Aku dan kalian adalah rekan seperjuangan ketika ada masalah keluarga yang harus dituntaskan. Di titik ini, aku tidak perlu mempertanyakan tentang perasaanku sendiri.”

Tidak banyak waktu yang bisa dibagi, apalagi jika harus bicara dari hati ke hati. Tapi tanpa perlu kuakui, kalian pasti tahu seberapa hebat aku menyayangi.

Aneh rasanya jika aku harus jujur tentang perasaanku. Tidak bisa kubayangkan betapa canggung suasana ketika aku dan kalian bertemu muka lalu bicara perkara hubungan kita. Aku jamin mulutku tidak akan bisa berkata-kata, tentang seberapa besar rasa sayang dan cinta yang aku punya.

Tapi sungguh aku percaya, kalian pun pasti melakukan hal yang sama. Bahwa di antara doa-doa yang terapal, ada namaku yang tidak pernah luput kalian lafalkan. Tanpa perlu bertukar pelukan, akulah yang tak pernah alpa memberimu perhatian.

Dan terakhir, sembah sujud syukur selalu kulantunkan kepadaMu sang pemberi rahmat. Moment lebaran kali ini engkau mempertemukan kami dalam khidmat dan penuh kebahagiaan. Dimulai dari saling memaafkan secara langsung hinggal jalan-jalan liburan.

Tak lupa, doa kesehatan, keselamatan, dan umur panjang untuk kedua orang tua kita. Karena merekalah kita lahir dan memberi makna pada arti kehidupan.

Teruntuk para kakakku , semoga essai ini tidak akan pernah sampai dimatamu untuk kau baca. Karena membayangkan kalian membaca tulisan ini justru membuatku senyum-senyum sendiri. Aku malu jika kalian tahu, tulisan ini sengaja kutulis untukmu.

Dari adikmu,

Yang berharap kau tak akan pernah membaca tulisanku.

Note: Foto diambil dari sebuah pantai eksotis Bulukumba saat liburan kemarin, namun kurang Si Sulung (Edi Miswar Mahdani) dan Si Bungsu (Saya) dikarenakan mereka berdua sedang gengsi dan malas foto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar