Senin, 26 Oktober 2015

1000 Lampion, 1000 Harapan Adalah Simbol Hari Raya Imlek Bukan Sekedar Tradisi : Haram Atas Muslim Turut Merayakannya



“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum/ bangsa maka dia termasuk salah seorang dari mereka”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)

Jika kita mendalami agama Khonghucu, khususnya mengenai hari-hari rayanya, akan terbukti bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Sebab sebenarnya Imlek adalah bagian integral dari ajaran agama Khonghucu, bukan semata-mata tradisi.
Dalam bukunya Mengenal Hari Raya Konfusiani (Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003) hal. vi-vii, Hendrik Agus Winarso menyebutkan bahwa masyarakat kurang memahami Hari Raya Konfusiani. Kata beliau mencontohkan,”Misalnya Tahun Baru Imlek dianggap sebagai tradisi orang Tionghoa.” Dengan demikian, pandangan bahwa Imlek adalah sekedar tradisi, yang tidak ada hubungannya dengan agama, menurut penulis buku tersebut, adalah suatu kesalahpahaman (Ibid., hal. v).
Dalam buku yang diberi kata sambutan oleh Ketua MATAKIN tahun 2000 Hs. Tjhie Tjay Ing itu, pada hal. 58-62, Hendrik Agus Winarso telah membuktikan dengan meyakinkan bahwa Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Hendrik Agus Winarso menerangkan, Tahun Baru Imlek atau disebut juga Sin Cia, merupakan momentum untuk memperbarui diri. Momentum ini, kata beliau, diisyaratkan dalam salah satu kitab suci Khonghucu, yaitu Kitab Lee Ki, bagian Gwat Ling, yang berbunyi :
“Hari permulaan tahun (Liep Chun) jadikanlah sebagai Hari Agung untuk bersembahyang besar ke hadirat Thian, karena Maha Besar Kebajikan Thian. Dilihat tiada nampak, didengar tiada terdengar, namun tiap wujud tiada yang tanpa Dia… (Tiong Yong XV : 1-5).
(Lihat Hendrik Agus Winarso, Mengenal Hari Raya Konfusiani, [Semarang : Effhar & Dahara Prize, 2003], hal. 60-61).
Penulis buku tersebut lalu menyimpulkan Imlek adalah bagian ajaran Khonghucu. Beliau mengatakan :
“Dengan demikian, menyambut Tahun Baru bagi umat Khonghucu Indonesia mengandung arti ketakwaan dan keimanan.” (ibid.,hal. 61).
Maka tidaklah benar pendapat yang menyebutkan bahwa Imlek hanya sekedar tradisi orang Tionghoa, atau Imlek bukan perayaan agama. Yang benar, Imlek justru adalah bagian ajaran agama Khonghucu, bukan sekedar tradisi.
Lampion, simbol harapan dan kebahagiaan
Keberadaan lampion tidak dapat dipisahkan dari tradisi perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Lampion menjadi semacam atribut budaya yang menandai peralihan tahun dalam penanggalan Tionghoa. Imlek kurang terasa meriah tanpa kehadiran lampion yang menghiasi sudut-sudut jalan, kelenteng, dan rumah-rumah warga peranakan Tionghoa.

Menurut sejarah, diperkirakan tradisi memasang lampion sudah ada di daratan Cina sejak era Dinasti Xi Han, sekitar abad ke-3 masehi. Munculnya lampion hampir bersamaan dengan dikenalnya tehnik pembuatan kertas. Lampion pada masa-masa awal memang diduga telah menggunakan bahan kertas, selain juga kulit hewan dan kain. Lampion mulai diidentikkan sebagai simbol perayaan Tahun Baru dalam penanggalan Tionghoa pada masa Dinasti Ming.

Pendar cahaya merah dari lampion memiliki makna filosofis tersendiri. Nyala merah lampion menjadi simbol pengharapan bahwa di tahun yang akan datang diwarnai dengan keberuntungan, rezeki, dan kebahagiaan. Legenda klasik juga menggambarkan lampion sebagai pengusir kekuatan jahat angkara murka yang disimbolkan dengan raksasa bernama Nian. Memasang lampion di tiap rumah juga dipercaya menghindarkan penghuninya dari ancaman kejahatan.

Bentuk lampion yang konvensional adalah bulat dengan rangka bambu. Tetapi seiring perkembangan zaman, muncul pula bentuk lampion yang semakin bervariasi. Salah satunya adalah lampion yang berangka logam dan dapat difungsikan sebagai lampu meja, atau lampion yang berbentuk bunga teratai yang kuncup. Selain bentuk teratai tersebut, masih banyak kreasi baru dari lampion yang membuat perayaan Imlek menjadi semakin semarak.
Pandangan Islam mengenai lampion harapan
Harapan sangat erat ikatannya dengan keyakinan. Berharap, dengan kata dasar harap dan ditambah imbuhan ber- yang terbentuk menjadi sebuah kata kerja. Yakni kita bekerja dengan akal dan hati kita untuk menggantungkan harapan yang kita miliki kepada Sang Pencipta agar apa yang kita harapkan dapat terwujud. Selain itu Ia menyakini bahwa ada Zat yang berkuasa atas apa yang kita harapkan yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan, misalnya Iskhaq mengharapkan lulus Ujian mengemudi, tetapi tidak ada usaha dari seorang Iskhaq untuk belajar mengemudi, Bagaimana mungkin Iskhaq lulus dalam ujian mengemudi.

Harapan merupakan bagian dari fitrah manusia yang tidak mungkin ditinggalkan oleh setiap manusia. Orang yang tidak mempunyai suatu harapan  pada hakekatnya adalah manusia yang mati, mengingat harapan merupakan titik awal manusia untuk selalu berkembang menuju kehidupan yang lebih baik.

Islam sendiri menganjurkan manusia untuk selalu berharap, namun dalam islam yang dimaksud berharap yaitu berharap pada kemurahan Allah SWT, mengingat Allah SWT adalah tuhan yang maha kuasa atas segalanya.

Allah SWT berfirman dalam surat Al insyirah ayat 8: “Dan hanya kepada Tuhanmulah (Allah SWT) hendaknya kamu   berharap”.  (Qs Al Insyirah: 8)

Berdasarkan firman Allah SWT diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Islam menganjurkan manusia untuk selalu berharap pada Allah SWT. Allah memerintahkan kita agar hanya kepada Allah saja hendaknya kita berharap. Oleh karena itu Imam Baihaqi menyebutkan dalam kitab beliau “Syu’ab Al Iman” bahwa berharap pada Allah merupakan cabang iman ke 12. Jadi kalau kita tidak berharap pada Allah atau sedikit harapan kita pada Allah berarti tidak sempurna imannya. Kalau kita tidak berharap pada Allah berarti ada dua masalah:

Pertama,  kita akan berdosa karena berharap pada Allah merupakan perintah  Allah,seperti yang tertera pada firman Allah diatas
“ dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.(QS Al Insyirah 8).

Kedua, kita akan terpentok dalam hidup, sering putus asa, dam kehilangan solusi karena tidak ada yang dianggap bisa menyelesaikan kasus atau memberikan solusi.
Allah SWT kembali berfirman dalam surat Al baqarah ayat 218 : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah : 218)

Firman Allah diatas kembali memberitahukan pada kita bahwa islam menganjurkan umat muslim untuk senantiasa berharap akan rahmat Allah.


Ketua Umum
Sekolah Sastra Bulukumba


Ahmad Muthahier

Minggu, 25 Oktober 2015

Refleksi Sumpah Pemuda

Jangan heran, jika kita (Pemuda) kini diteriaki, dicaci maki, disangsikan eksistensinya. Tak perlu protes jika tuntutan-tuntutan itu ditunjukkan ke muka kita, karena euforia reformasi tak jarang ada pada momment yang tidak mudah dipahami. Belum lagi hiruk pikuk kepentingan dan virus-virus `fatamorgana' entertainment merenggut jiwa-jiwa kita.
Memang banyak juga ini diteladankan oleh yang tua. Tetapi juga nyata realita pahatan dan sayatan peristiwa kongres pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 itu hanya terekam rapi di museum-museum, baliho-baliho, spanduk dan sticker-sticker estetis. Sumpah !!!!! Pemuda Indonesia.
Lalu Kita Bangun
Kalau tanah Indonesia, bangsa Indonesia, bahasa Indonesia adalah warna-warna keIndonesiaan maka semua itu bermuara Indonesia Raya. Maka :
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
                     (Cuplikan Lagu Kebangsaan)
Itu juga menjadi lagu  yang hampir selalu kita dengungkan setiap upacara-upacara. Dan kita sepakat.
Momment yang membuktikan bahwa pentingnya kemandirian, keunggulan, daya saing, persatuan dengan membangunkan kekuatan diri, jiwa raga.
Memang itu adalah sejarah, tetapi mata rantai kemarin-kini-esok tidak bisa dipenggal. B. Russel mengatakan "Hystory acquire meaning and objectivity only when it establishes a coherent relation past and future".
Lain dulu, bisa lain bisa juga sama dengan sekarang. Dan kini Mt. Everest, kutub utara-selatan, pesawat Chalanger masih tetap menunggu sambutan kita para pemuda.
Jika mereka negara maju memupuk jiwa petualangan anak bangsanya, mengapa kita pemuda `Zamrud Khatulistiwa' tidak juga meneruskan budaya Discovery & Expedition ? Sementara kita kaya dengan lautan, hutan, gunung, flora, fauna dll. Ironis jika pemudanya tidak berminat menjelajah dan mengenal alam tanah airnya sendiri. Kalaupun banyak organisasi pecinta alam, umumnya baru sebatas perkumpulan Olah raga / Pleasure semata.
Jiwa Petualang
Bagi petualang (pendaki) sering terbersit pemikiran simpel, "mendaki ya mendaki saja, bertualang ya asal jalan saja, tak perlulah itu memikirkan argumentasi sedemikian rupa". Tapi lain halnya dengan Real Backpaker : "Tetaplah mendaki dengan visi dan misi paling sempurna dengan niat dan orientasi yang paling agung dengan motivasi yang dapat dipertanggungjawabjan dihadapan Sang Pencipta Gunung. Karena, wahai sahabat, besok-kelak, kaki, tangan mulut kita akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dikerjakan".
Atau Gr. Edmund Hillary, salah satu yang mencapai puncak Everest, bukan hanya legenda penaklukan Everest saja yang patut dikenang, tapi disamping mendaki ia juga berusaha memperbaiki kondisi masyarakat Nepal yang sangat miskin dan jauh tertinggal. Ia pun selalu mengunjungi Nepal selama 54 tahun berikutnya, tanpa kompensasi apapun.
"…Tinggal beberapa langkah lagi dan tidak ada sesuatu yang lain berada diatas kami kecuali langit. Tidak ada dinding lain, tidak ada puncak lain, kami berdiri bersama di puncak dunia"
Hillary dengan petualangan, pencapaian, penemuan dan kesederhanaanya, dengan salah satu ucapannya yang patut dikenang : "We knocked the bestard off". Dengan filosofi hidup yang sangat sederhana : Petualangan bisa untuk orang biasa dengan kualitas biasa-biasa saja seperti saya.
Jiwa petualang, mampu mengatasi kesulitan dengan jiwa raganya. Demikian pula dengan Thomas Alva Edison dengan 50.000 percobaan selama 20 tahun, ketika ditanya : "Anda telah gagal 50.000 X, lalu apa yang membuat anda yakin bahwa anda akan berhasil? Dengan spontan dijawab : "Berhasil? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan banyak hasil. Kini saya tahu 50.000 hal yang tidak berfungsi".
Merekalah yang berhasil mencapai puncak pendakian. Senantiasa berfokus pada usaha, menundukkan tantangan, selalu mencari kemungkinan-kemungkinan, hanya sesekali jeda untuk evaluasi, dan kemudian kembali bergerak maju hingga puncak.
Dengan ketegaran (courage) menghadapi tantangan yang tak pernah berhenti, kegigihan dan tetap teguh pada optimisme, tenang menghadapi kekisruhan, sangat tegar ketika menghadapi "itu tidak dapat dikerjakan" dan "kami belum pernah mengerjakannya. Sesuatu yang tidak mungkin hanya perlu waktu untuk menjadi kenyataan.
Sehingga benar-benar spirit yang ada didalamnya : 1). Nation character building
2). Pengusaan skill dan IPTEK (National competitiveness) sering terabai. Menjadi sebuah  pengembaraan (expedition) menempuh wilayah tanah air demi kepentingan masyarakat  dengan IPTEK (Discovery). Sehingga `learning by visiting' adalah mensinergikan : mind on, hearth on dan hand on secara integral dengan pengalaman dan amal nyata (kontributif).
Eksplorasi dari Yang Terkecil
"Sebuah pohon sebesar Anda, bermula dari sebuah biji yang kecil. Perjalanan sejauh 1000 mil berawal dari sebuah langkah kecil (Lao Tse)
Republik Indonesia memiliki 17.504 pulau, 9336 yang bernama, 8168 yang belum diberi nama. Panjang wilayah Indonesia 5300 Km, Lebar 2300 Km. Luas daratan dua juta Km2  etnik, belum lagi sekian juta spesies flora dan fauna (pertanian, tambang perairan dll). memiliki 250 bahasa dan dialek dengan 200 kampung
Dalam sebuah diskusi "Sewindu Reformasi mencari visi 2030" seorang panelis pernah menyatakan "Sehelai daun yang berserakan di pinggir jalan dan selama ini hanya dianggap sampah, sebenarnya peluang usaha yang sangat menjanjikan. Bisa diolah menjadi kerajinan tangan yang diminati luar negeri. Tapi ternyata tidak banyak yang berminat memunguti dan mengolahnya, padahal satu helai daun dihargai Rp. 100.
Ekspedisi yang dengan mengaktifkan ketiga potensi : mind, heart dan hand, meningkatkan sensitifitas kita terhadap lingkungan, bangsa dan negara berikut faktor yang mempengaruhi pada tataran realita, termasuk peluang.
Namun begitu spirit / janji diri tidak berlepas dari `Cinta tanah air dalam berbangsa dan bernegara. As a nation. "Bertumpah darah dengan kesamaan pembahasaan bahasa, demi bangsa, Indonesia".
Nama Indonesia adalah sebuah sejarah panjang dari masyarakat kita, ia muncul sebagai perekat yang mempersatukan seluruh komponen masyarakat guna ke luar dari belenggu penjajahan untuk menggapai kemerdekaan.
Masyarakat Indonesia terdiri dari individu. Individu yang memiliki latar belakang agama dan suku yang berbeda. Ratusan suku tersebar dari Sabang hingga Marauke. Tiap-tiap suku memiliki ciri yang berbeda namun juga memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan-kesamaan inilah yang menjadi landasan identitas nasional.
Indonesia sebagai identitas nasional. Ketika para pemuda mengikrarkan sebuah sumpah yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda di dalamnya nama Indonesia dipakai sebagai perekat atau identitas pemersatu seluruh komponen pemuda dari berbagai suku dan agama untuk memperjuangkan sebuah tanah air, bangsa dan bahasa yang satu yakni Indonesia.
Kalau kita lihat isi dari Sumpah Pemuda adalah bahwa para pemuda dan pemudi Indonesia menyatakan satu tekadnya dalam bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. Dari isi Sumpah Pemuda ini dapat disimpulkan bahwa kata Indonesia sudah digunakan secara lugas dan tegas untuk menunjukkan identitas nasional yakni tanah air Indonesia, bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia.
Dengan nama Indonesia segala keanekaragaman suku, budaya, bahasa, dan agama menjadikan kita untuk saling bergandengan tangan mengisi kemerdekaan dan menjaga keutuhan bangsa
Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 menghasilkan sebuah sumpah yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Salah satu isi dari sumpah itu adalah tentang bahasa. Pada saat kongres hanya sedikit para pemuda tersebut lancar berbahasa Indonesia, yang paling fasih saat itu hanyalah Muhammad Yamin.
Di masa Pergerakan Kebangsaan setelah era Kebangkitan Nasional beredar dua surat kabar yang cukup penting yaitu Keng Po dan Sin Po. Surat kabar Sin Po adalah surat kabar yang pertama menuliskan Indonesia menggantikan nomenklatur Hindia-Belanda atau Nederlandsch-Indie.
Sejarah Indonesia di masa tersebut lebih menyenangkan untuk ditelaah dalam bentuk fiksi dengan membaca Tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer, khususnya pada buku kedua Anak Semua Bangsa. Novel Remy Sylado Kembang Jepun pun mengambil setting sejarah yang sama.
Coba kita runut lagi sejarah sumpah pemuda,ketika sebelum terjadinya sumpah pemuda Indonesia bak sebuah polis2 kecil yang sifatnya memebela kedaerahan,ketika belanda semakin menjadio2 kepada Indonesia munculllah ide dari pemuda untuk bersatu berjuang bersama2 dan tepat tgl28 oktober 1928 dibentukklah sumpah pemuda
Masyarakat Indonesia terdiri dari individu. Individu yang memiliki latar belakang agama dan suku yang berbeda. Ratusan suku tersebar dari Sabang hingga Marauke. Tiap-tiap suku memiliki ciri yang berbeda namun juga memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan-kesamaan inilah yang menjadi landasan identitas nasional.
    Bansa yang maju adalah bangsa yang mengingat2 sejarahnya itulah pepatah yang sering diucapakan hingga soekarno sering mngatakan menyebutkan:Jas Merah”(jangan sekalikali melupakan sejarah
Pertanyaannya memang bisa jadi, “Apakah Sumpah Pemuda masih relevan di era globalisasi sekarang ini?”. Saat ini bahasa Inggris sudah seperti Bic Mac dkk (hamburger) yang yang dulunya dianggap makanan mewah namun  burger-burger bermacam nama yang bahkan sudah dijual di pinggir jalan itu. Begitu juga bahasa Inggris, meski masih mahal untuk ikut kursusnya, tapi kemampuan berbahasa Inggris bukan lagi hal yang menakjubkan dibanding beberapa dekade ke belakang.
Lihat saja, lagu-lagu Indonesia sudah banyak yang berlirik bahasa Inggris, dialog-dialog di sinetron dan film memakai selipan bahasa Inggris, ngobrol dengan teman memakai bahasa Inggris, bahkan memesan kopi di angkringan Jogja pun sudah bisa memakai bahasa Inggris, “Pak Jo, black coffee, please!“. Memang bukan hal salah dan buruk bila bahasa Inggris merasuki kehidupan sehari-hari kita, justru itu membuatnya semakin berwarna. Tetapi penggunaannya juga harus disesuaikan dengan waktu, tempat, dan tujuan. Di kelas, memang tempatnya. Di kantor, urusan bisnis. Di kelompok belajar, untuk belajar.
Lalu bagaimana dengan para pemuda jaman perjuangan dulu yang mengambil sumpahnya tanpa persetujuan kita yang semakin hari semakin tidak tahu (dan tidak mau memakai) bahasa Indonesia yang baik dan benar? Meski demikian, sumpah itu bukan tanpa tujuan. Mereka tentunya juga telah mengkalkulasi hal yang terjadi di masa ini. Justru karena itulah mereka bersumpah bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan kita. Bahasa yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Bahasa yang bisa menunjukkan kebanggaan kita. Karena memang dari bahasa lah sebuah eksistensi sebuah bangsa dapat terlihat. Demikianlah sebuah sumpah tentang nasionalisme.
Di saat kita prihatin dengan bahasa Inggris yang sudah mulai menggeser posisi bahasa Indonesia, ada saja yang ikut memperparah keadaan. Ya, apalagi kalau bukan bahasa gaul? Bahasa yang entah datang dari mana ini menjadi suatu imej baru bagi mereka yang ingin dicap gaul. Sedangkan gaul sendiri entah apa artinya. Kata secara digunakan tidak pada tempatnya dengan sengaja, ’saya’ dirubah menjadi akika atau eike, belum lagi mene ketehe’, bo’, sumpe lo, dan istilah-istilah lain yang entah diciptakan siapa. Tapi memang harus diakui bahwa istilah-istilah gaul ini cukup ampuh sebagai tagline iklan-iklan komersil. Dan sebenarnya saya pun termasuk salah satu yang terjangkit gaulisme ini dengan ikut-ikutan memakai istilah yang hanya dimengerti sejumput orang tertentu, seperti cenger dan ciplokanong. Entah apa artinya.
Sekarang coba bayangkan bila dalam beberapa tahun ke depan semua orang berbicara dalam bahasa Inggris yang dicampur bahasa gaul dan bahasa Indonesia menjadi suatu hal yang langka di kalangan anak muda. Lantas di mana identitas sebagai bangsa Indonesia? Ingin seperti negara Commonwealth, tidak bisa karena tidak semua orang Indonesia bisa berbahasa Inggris. Mengaku sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat dan mempunyai rasa nasionalisme tinggi juga bukan, karena semakin sedikit orang yang bangga berbahasa Indonesia. Lalu apakah kita harus menjadi Negara Gaul?
Belajar bahasa Inggris itu baik. Kita tidak mau tertinggal di jaman yang semakin cepat ini kan? Kalau orang lain bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dan kita tidak mengerti, hal ini juga berarti kerugian kita tidak bisa menangkap informasi. Bahkan sekarang bukan hanya bahasa Inggris saja yang populer melainkan juga bahasa Perancis, Spanyol, Cina (Mandarin), Jepang, Korea, dan Arab. Sebagai sebuah bangsa yang ingin maju kita harus menyesuaikan diri dengan perkembangan. Namun bukan berarti kita meninggalkan identitas kita. Pelajarilah bahasa apapun. Belajarlah bahasa Inggris, Perancis, Cina dan sebagainya untuk kebaikan bangsa ini. Dengan mengerti bahasa asing diharapkan kita bisa menyerap ilmu-ilmu yang mereka miliki, lalu mengajarkan ilmu itu pada orang lain sehingga menjadi sebuah kebaikan dan kemajuan bagi bangsa Indonesia. Kita belajar bahasa Inggris adalah untuk bisa membaca buku-buku dalam bahasa Inggris, berkomunikasi dengan orang yang berbahasa Inggris, menonton berita berbahasa Inggris, dan dan hal-hal lain yang bertujuan untuk membuat kita mampu menangkap informasi lebih. Kita belajar bahasa Inggris bukan untuk menjadi orang Inggris

Rabu, 30 September 2015

Surat kaleng

Kepada yang penuh cinta,
Sdri Ridha Amaliah.

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu, ijinkan kekunoan ini menjadi mutiara ditengah lumpur dalam pelupuk matamu.

Semoga hatimu yang baik dan indah berada dalam ketentraman. Hari ini aku menerima semua postinganmu di sosial media, dan kubaca artikel-artikelmu satu demi satu dengan senang sekali beserta kekaguman.

Dalam artikel-artikelmu kutemukan pengantar mengenai segala kecenderungan dan kecondongan yang telah begitu lama menarik-narik hatiku dan menggayuti mimpiku; tapi ada juga teori dan asas lain yang kuharapkan dapat kita perbincangkan dalam temu muka. Seandainya aku sekarang ada di Kotamu, aku hendak meminta izin untuk mengunjungimu dan memperbincangkan secara rinci (pokok-pokok masalah) seperti “roh-roh berbagai tempat”, “akal dan rasa” dan beberapa aspek filsafat Henri Bergson. Tetapi Kotamu berada jauh di Tenggara dan aku terletak jauh di ujung Selatan, padahal tidak ada jalan yang dapat digunakan untuk mengadakan perbincangan seperti harapan dan keinginanku.

Artikel-artikelmu yang jelas menunjukkan betapa tinggi bakatmu, mampu memahami bacaan secara tuntas, dan memiliki selera halus dalam menyaingi dan memilih bahan dengan segala hubungannya. Artikelmu pun secara jernih memantulkan pengalaman diri pribadi., sehingga membuat riset-risetmu menjadi yang terbaik di antara sesama jenisnya dalam media. Aku menganggap pengalaman dan keyakinan pribadi lebih utama dari pada segala jenis pengetahuan demi pekerjaan.

Tapi padaku ada pertanyaan, dan kuharap engkau memperbolehkan aku mengajukannya padamu. Persoalannya begini: Tak mungkinkah saatnya tiba bagi bakat besarmu untuk diabadikan selanjutnya guna mengungkapkan rahasia inti pribadimu, pengalaman-pengalaman khusus dan kegaiban-kegaiban agung pribadimu itu? Bukankah keindahan kreativitas lebih abadi dari pada kajian terhadap orang-orang yang kreatif? Apakah engkau tidak yakin bahwa karya cipta puisi atau prosa lebih berharga dari pada tesis tentang penyair dan puisi?

Sebagai salah seorang pengagummu, aku lebih ingin membaca sajakmu tentang senyum Sphinx misalnya, dari pada membaca artikelmu mengenai sejarah kesenian dalam media (dubsmash) dan perkembangannya dari hari ke hari Sebab, dengan menulis sajak mengenai senyum Sphinx, engkau memberiku sesuatu yang bersifat pribadi, sedangkan menulis tesis mengenai sejarah kesenian media (dubsmash) engkau mengharapkan aku pada pengetahuan yang umum.

Tapi, apa yang aku ketahui bukannya tidak dapat ditunjukkan dengan kemampuan dalam mengungkapkan pengalaman pribadi yang subyektif bila menulis mengenai sejarah kesenian Medsos. Namun demikian, aku berpendapat bahwa kesenian ekspresi dari pada segala yang mengalir, bergerak dan menjadi saripati jiwa seseorang lebih sesuai dan mengena pada bakatmu yan khas dari pada bidang riset ekspresi dari pada segala yang mengalir, bergerak dan menjadi saripati masyarakat.

Apa yang kukatakan tadi tidaklah lain dari pada sebuah permintaan atas nama kesenian. Kuajukan permintaan itu kepadamu karena aku ingin menarikmu pada lapangan yang mempesona ini, dan di situlah engkau akan bertemu dengan Sappho, Elizabeth Browning, Olive Schreier dan saudari-saudarimu yang telah mendirikan tangga emas dan gading antara bumi dan langit.

Semoga engkau dapat mengetahui kekagumanku, dan sudi apalah kiranya menerimamu penghormatan dari lubuk hatiku. Kudoakan, Tuhan melindungimu.

Ay'

Senin, 14 September 2015

Aku kalah!

Apa orang yang memperlakukanmu dengan begitu baik harus diam-diam menjahatiku?
Kudengar ia orang yang baik,
pekerja keras,
mau mengalah,
rajin beribadah
dan namun diam-diam mengungkapkan perasaannya kepada kekasihku dan itu kau.

Aku kalah.
Aku lengah.
Sesaat setelah aku berkedip,
kau lenyap.

Kau kekasihku telah direnggut,
perasaanmu kini terbelah.
Setengah untuk orang yang begitu baik,
mungkin setengah lagi hanya teruntuk kutanya-tanya.
Aku tidak menyalahkanmu.
Kan kulihat kau bahagia.
Hanya dulu,
aku dapat melihat hati yang penuh pada sepasang bola matamu.
Sekarang aku kaget oleh karena begitu banyak ketakutan di dalamnya.
Aku ingin bertepuk tangan,
namun khawatir kau tersinggung.
Apakah ini pertanda untukku meniti hidup yang baru untuk seseorang yang baru?
Aku tidak yakin,
sebab sampai di hari ini,
rindu selalu lebih kuat dari kekecewaan.

Aku tidak mau memilih pengganti dengan hati yang hanya memberikan rasa kasihan.
Hati yang menjerit tidak harus selalu menyerukan kesepian.
Biarlah aku sendiri asal tidak memiliki yang tidak aku cintai.
Ini lebih baik dari asal-asalan.
Hanya dengar kekasihku,
jangan karena kau cinta aku begitu besar,
cintaku jadi tidak berarti apa-apa!

Kau tahu kalau kau mencintaiku,
namun cintakah yang kau inginkan?
Jika kau bilang kau lebih mencintaiku,
lalu untuk diakah sisanya?

Ah,
isi hatimu dipertanyakan.

Sekarang bayangkan!
Jika hati kekasihku dicuri orang,
akankah hatinya akan kembali dengan utuh?
Karena siapakah aku yang menjawab tanya sendiri.
Mungkin ini pelajaran bahwa ternyata ada juga cinta yang jahat,
cinta yang mencari celah untuk dapat memisahkan dua hati yang menyatu.

Aku dan kamu yang dulu pernah menjadi kita.

Baiklah,
baiklah.
Biar bumi berputar,
waktu berjalan dan aku terpaku saja akan bayang-bayangmu.
Yang baik selalu menang,
yang terbaik hanya dikenang.
Aku kalah.