Sabtu, 27 Agustus 2016

Begal Intelek

(Sisi lain menyambut hari fitri "Kolusi berkedok THR)

Menjelang Hari Raya Idul Fitri, sebagian banyak orang mulai memenuhi kebutuhan lebaran. Pusat-pusat perbelanjaan pun mulai ramai. Kebutuhan pokok, baju baru, kue lebaran, minuman lebaran sampai perlengkapan lainnya seperti tisu. Untuk memenuhi itu semua, pastinya diperlukan uang lebih, apalagi bagi seorang karyawan. Itu mengapa, ada Tunjangan Hari Raya (THR) bagi mereka karyawan.

Salah Kaprah Soal THR (Tunjangan Hari Raya)
Perihal THR, ketentuannya diatur jelas dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Buruh/Pekerja di Perusahaan. Pengusaha wajib memberi THR Keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja satu bulan atau lebih secara terus-menerus. Besarannya, biasanya, satu bulan gaji.

Yang aneh, istilah THR ini digunakan oleh beberapa orang untuk disalahgunakan. Mulai level perumahan, sampai ke kantoran, hingga ke beranda facebook. Saya bahkan mendapatkan kabar tentang sebuah lembaga aktivis lokal yang menyampaikan surat resmi kepada Instansi pemerintah untuk mendapatkan THR. Sebuah tindakan yang salah dan sangat mencoreng profesi aktivis. Menjadi kotoran di pergerakan Bulukumba, tentunya.

Gelar aktivis memang sering bersinggungan dengan instansi pemerintah. Anggapan umum, instansi pemerintah adalah adalah sumber uang. Maka, dijadikanlah title ini untuk mendapatkan yang sesungguhnya bukan haknya si oknum tersebut. Seperti meminta THR.

Seorang aktivis harusnya menjaga idealism dan keobjektifan wacananya. Ia harus menjaga jarak hubungan antara dirinya dengan si narasumber. Hal ini mutlak untuk menjaga supaya produk gerakan yang dihasilkan tidak terjadi konflik kepentingan.

Kabar mencari THR juga ternyata dilakukan oleh organisasi partai politik tertentu dan ormas tertentu. Sudah jelas sebelumnya bahwa THR merupakan hak seorang karyawan/buruh atas perusahaan atau perseorangan yang memperkerjakannya minimal dalam jangka waktu satu bulan. Memberikan THR kepada mereka tidak diwajibkan dan tidak ada ketentuan yang mengatur.

Jika memberatkan, tidak usah memberikan THR. Tetapi memang, dari intansi pemerintah atau instansi tertentu juga terpaksa memberikan THR. Dalihnya, takut terkena imbas buruk atau takut hubungannya memburuk dengan si peminta THR. Kalau mau disadari, inilah satu dari sekian banyak faktor pembentuk lingkaran setan terjadinya perilaku korup.

Menyimak hal ini, ternyata issu begal yang hangat dapat menjadi media untuk meraup THR yang banyak. Dengan konstalasi yang rapi dan mengatasnamakan suara rakyat.

Namun tenang kawan, saya tak akan mengadukanmu ke penegak hukum atau memberitakanmu pada koran lokal. Saya hanya penulis pemula yang menjadikan issu hangat sebagai mediasi dalam segala tulisan-tulisan essai. Saya pun tidak akan melist nama dan lembaga apa saja, tenang... saya tidak seekstreme itu.

Yang saya sayangkan hanya untuk pelaku begal, yang sekarang dikambing hitamkan olehmu yang juga kambing. Saya malah sependapat dengan oknum kepolisian di Bulukumba yang berkata "para pelaku begal itu masih dibawah umur, harus dikasihani"

Bulukumba, jumat 1 juli 2016
Disebuah warkop, berseberangan duduk degan pelaku begal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar