Rabu, 05 Oktober 2016

Siapa Sebenarnya Yang Gila?

(Mengukur kadar absurditas diri)

“Absurditas” adalah suatu terminus yang kerap digunakan para filsuf eksistensialis guna menggambarkan betapa “anehnya” kehidupan di dunia ini"

Suatu ketika, seorang pemuda berjalan dilorong RSJ (Rumah Sakit Jiwa). Ditengah perjalanannya, ia melewati ruangan beberapa pasien yang akut, beberapa dari pasien meneriakinya "Orang Gila! , Woi Sinting". Kalimat itu terus dilontarkan pasien kepada pemuda tersebut. Hingga si pemuda risih, namun dalam batinnya terhentak dan membuat ia berhenti berjalan. " Siapa sebenarnya yang gila disini?" Gumamnya dalam hati.

Fenomena ini juga ditunjukkan pada film QUILLS yang menceritakan tentang seorang pujangga dan penulis novel fiksi beraliran pornografi Marquis de sade. Karena tulisan-tulisannya yang nyeleneh membuat Marquis dianggap gila dan ia kemudian dimasukkan ke sebuah rumah sait jiwa di Charenton. Rumah sakit jiwa ini diawasi oleh Abbe du coulmier yang juga seorang pastor. Di dalam rumah sakit jiwa ini Marquis mempunyai tempat yang lebih mewah dari yang lainnya dimana ia bisa membawa barang-barang pribadinya dan dierbolehkan menulis karena menurut Abbe dengan menuis bisa membuat Marquis cepat sembuh. Lalu, siapa yang gila? Marquis kah atau si pastor tersebut?

Sederhananya pada masyarakat Bulukumba, barangkali kita pernah melihat seseorang yang kita anggap gila, namanya Alamg. Namun siapa sangka bahwa ia adalah seorang seniman hebat, lukisannya lebih waras dari orang waras pada umummnya. Hingga terpampang megah di ruang siar Radio Cempaka Asri 102.5 FM. Masihkah kita menganggapnya gila?

Yang saya ingin katakan adalah, tidak ada orang yang bisa dikatakan waras seratus persen. Setiap manusia selalu memiliki unsur-unsur kegilaan didalam dirinya. Hanya saja kadar kegilaan setiap orang berbeda-beda. Ada yang sedikit gila sehingga dia tampak normal, ada juga yang kadarnya sudah diatas ambang batas toleransi, sehingga dia dianggap aneh atau menyimpang oleh orang lain. Berbeda dengan penyakit-penyakit lain yang gejala-gejalanya dapat kita rasakan, kegilaan diri sendiri sangat sulit untuk deteksi, karena tidak ada orang gila yang merasa dirinya gila. Dalam bahasa Arab orang gila sering disebut sebagai majnun, yaitu orang yang perilakunya abnormal. Mereka suka tertawa, bicara atau menangis sendiri tanpa sebab, bahkan mengamuk ditengah pasar. Padahal sesungguhnya istilah gila dalam arti majnun (Arab) tidak tepat untuk diberikan kepada orang seperti ini, yang tepat adalah mubtala, yaitu orang yang tertimpa musibah atau orang sakit. Majnun berasal dari kata jannat, yang artinya menutupi. Orang gila adalah orang yang akalnya tertutup. Dia masih memiliki akal tetapi akalnya tidak dapat menerangi atau membimbing perilakunya, begitu yang saya baca saat menelusuri kisah "Layla Majnun".

Ciri utama orang gila adalah berperilaku tidak proporsional, yaitu merasa diri lebih besar dari keadaan yang sebenarnya. Menganggap kehormatannya tidak sama dengan orang lain, merasa memiliki garis keturunan lebih mulia dari orang lain. Tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang yang dianggap memiliki derajat dibawahnya. Ciri lain orang gila adalah jika berkuasa tidak segan-segan menindas rakyat kecil, menegakkan kekuasaan diatas penderitaan orang lain. Jika kaya membusungkan dada, merendahkan orang yang kurang kaya, menciptakan kelompok eksklusif dan menganggap orang-orang miskin sebagai kelompok yang tidak sekelas. Jika berilmu sering meremehkan orang bodoh serta mentertawakan kebodohannya. Ciri-ciri orang gila dilingkungan ahli ibadah adalah jika dia merasa paling sholeh diantara sesamanya. Dia puas dengan ibadahnya namun melupakan ahlak ditengah-tengah masyarakat. Mengkhususkan sorga buat kelompoknya, neraka buat kelompok lain. Dia sahkan ibadahnya dan membatalkan ibadah kelompok lain. Puas dengan puasanya tetapi lupa dengan fakir miskin. Orang dengan ciri-ciri perilaku seperti tersebut diatas telah menutupi kenyataan bahwa dia sesungguhnya tidak berbeda dengan manusia yang lain, berasal dari sperma dan berakhir menjadi bangkai. Dengan demikian kita juga dapat menggunakan ciri-ciri diatas untuk mengukur kadar kegilaan diri pribadi kita. Satu saja diantara ciri-ciri itu kita rasakan, maka kita sudah bisa dikatakan sebagai orang yang benar-benar gila.

Seperti seorang pemuda kerajaan di negeri seberang, ia telah ramai diperingati bahwa tindakan yang dilakukannya adalah keliru, bahkan seluruh landasan teoritis untuk menguji kebenaran telah dikemukakan. Yang anehnya adalah, dari raja hingga sekumpulan pasukannya meng-amin-i kesalahan namun tetap melanjutkan dengan anggun. Gila? Itulah negeri seberang, negeri entahberantah. Tidak sampai disitu, berbeda dengan prilakunya kepada pribumi yang bukan anggota kerajaan. Seperti seorang awam yang memasukkan benang kedalam jarum yang bergoyang lalu ia dituduh raja telah melakukan pemerkosaan.

Namun, sekali lagi. Disini siapa yang sebenarnya gila?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar